Jumat, 06 Desember 2013 | | 0 komentar

Islamku model yang mana?

Aku lagi bosan. Bosan kalau ada yang bertanya ke aku, di manakah aku berpihak pada sebuah agama? Maka kalo sudah ditanya kayak gitu, tentu saja aku menjawab dengan egoku kalau aku berpihak pada Islam. Ya jelas, karena agamaku Islam. Tapi ternyata pertanyaan model kayak gitu selalu berlanjut, Islam model yang mana? Sangat liberal, liberal, moderat, konservatif, atau sangat konservatif? Pertanyaan macam apa itu, batinku. Memangnya ada Islam model-modelan kayak gitu? Tapi tuduhan selalu berlanjut. Kelihat dari caraku ber sosial ria lintas agama dari dulu yang mengajak untuk menyikapi perbedaan secara indah dalam kehidupan beragama, baik dalam lingkup internal maupun eksternal, akhirnya berlanjut dengan cap bahwa aku adalah antek Islam model liberal cuma gara-gara aku mendukung pluralisme beragama dalam kehidupan bermasyarakat. Pluralisme? Iya, memang iya aku mendukung itu. Aku beranggapan bahwa semua agama di dunia ini tidak beda. Iya, tidak beda. Bacalah (dengan menyebut nama Tuhanmu, kalau perlu), bahwa aku menuliskan “tidak beda”, bukan “sama”, dalam artian sama-sama mengajarkan kebaikan hidup buat pemeluknya. Pluralisme yang kumaksudkan di sini adalah untuk mendukung setiap manusia supaya bisa dengan bebas menjalankan ajaran agamanya, nggak ada tekanan, nggak ada intimidasi, nggak ada curiga-curigaan, nggak ada hujat-hujatan, dan sebangsanya. Pokoknya nggak ada hal dan aksi macam gituan lagi. Tapi kok ya sulit… Rasanya sulit banget mengampanyekan hal seperti itu, padahal teorinya kelihatannya gampang. "Untukmu agamamu dan untukku agamaku". Terserah mau beragama Hindu, Islam, Kristen, Buddha, terserah kamu mau beranggapan bahwa agamamu adalah yang paling sakti, terserah mau beranggapan semua agama itu sama, terserah mau berpegangan pada ideologi (yang sebenarnya juga cuma istilah ciptaan manusia) liberal, moderat, atau konservatif, dan terserah juga kalau mau memuja setan sekalipun, asalkan kamu nggak ngisruh dan merugikan orang lain! Aku cuma pengen kehidupan di Endonesa ini kayak gitu aja. Tapi ya itu tadi, rasanya kok ya sulit. Sulit, soale di dalam agamaku sendiri ternyata terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Golongan A menganggap golongan B busuk, golongan B menganggap golongan C kampret, golongan C menganggap golongan A sebagai unta-unta yang tersesat. Sebenarnya hal itu bukan masalah asalkan (seperti yang aku bilang barusan) kita bisa menyikapi perbedaan dengan cara yang elegan. Kampretnya, ternyata nggak semua manusia itu pinter! A long time ago, waktu aku hidup di Denpasar, rasanya kehidupan beragama, khususnya dalam Islam itu sendiri, sangatlah tenang. Tapi begitu pindah ke Jokja aku baru tahu bahwa ternyata ada Islam model gini dan Islam model gitu. Dulu aku berpikir, Islam itu paling-paling patokannya cuma NU sama Muhammadiyah. Yang bedanya paling kerasa paling-paling cuma mereka berdua, semisal dalam menyikapi jumlah rakaat shalat tarawih atau jatuhnya hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Tapi begitu nyampai di Jokja, lhadhalah… Makin macam-macam aja aliran-aliran di sini. Makin macam-macamnya, tiap-tiap golongan itu hobinya ribut satu sama lain, bersikap seolah-olah dirinyalah yang paling benar di mata Tuhan. Tentu saja kadang-kadang aku jadi gatel ngeliat model dakwah yang seperti itu, dan mencobalah aku menulis untuk mengampanyekan tentang sebuah perdamaian atau minimalnya toleransi. Tapi kok ya sulit lagi… Sulitnya ya itu tadi, dituduh macam-macam, Bol! Ngomong tentang toleransi, aku dituduh antek liberal. Ngomong tentang persamaan hak, aku dituduh komunis. Ngomong tentang indahnya perbedaan, aku dituduh anti syariat. Bahkan ngomong tentang teknologi pun, aku dituduh sebagai ahli bid’ah! Bah, semprul! Lama-lama kesel juga, John. Tapi kalau aku cuma diam, apa iya keadaan yang menurutku nggak sehat ini bakal berubah? Padahal, kalopun aku ini antek liberal, komunis, anti syariat, ahli bid’ah sekalipun, apa salahnya? Nggak bolehkah 4 jenis manusia tersebut mencita-citakan sebuah ketenangan hidup? Lagian, khususnya dalam agama Islam, pengkotak-kotakkan model gitu kan diciptakan oleh manusia sendiri, nggak ada dalam default-manual-book-nya umat Muslim. Aku cuma pengen, apapun jalan hidupmu, sudahlah, mbok jangan menjelek-jelekkan jalan hidup orang lain di depan umum. Mau mengagung-agungkan aliranmu, ya lakukanlah dengan elegan. Jangan dilakukan sambil menyinggung perasaan orang lain. Ini, sih, sama aja kayak ngomong, “Kenapa Liverpool waktu tahun 2005 menguasai Eropa? Ya, karena AC Milan itu pecundang!” Ya terang aja kalau kalian sebagai pendukung Liverpool bicara kayak gitu maka pendukung AC Milan bakal ngamuk (apalagi kalau sampeyan ngngkit ngungkit Chelsea pas kalah di final Champion lawan MU, di depan saya). Lalu juga, kalo ada yang mempertanyakan tentang keabsahan aliranmu, jawablah dengan sopan dan pintar. Jangan dijawab dengan ad-hominem atau sambil mengutuk pertanyaan dari si penanya. Yang kayak gitu jelas aja mancing keributan. Mbok ya jadi orang itu ya yang pintar sedikit… Dikit aja… (Jangan banyak-banyak. Kalau kebanyakan aku malah khawatir ladang pekerjaanku pun nantinya bakal kalian sikat, kekeke!) Ngomongnya pengen ngajakin umat bersatu, tapi nyatanya kamu malah jadi tukang bikin umat terpecah-belah. Apanya yang ngajakin bersatu, hah? Tapi kuakui, aku juga sering bandel waktu blogwalking ke blog-blog mereka. Kalau aku bertanya kepada “para tukang mengagungkan alirannya itu” kadang-kadang suka keterlaluan juga skenarionya. Kepada “para tukang” itu aku sering bertanya yang sebenarnya pengen menggiring ke toleransi di tingkah-laku mereka: “Siapa yang menjamin bahwa golongan kalian ini adalah golongan yang paling benar? Tuhankah atau cuma sekedar katanya pemuka-pemuka kalian?” Biasanya jawaban mereka suka muter-muter. Nggak pa-pa, aku ikutin permainannya. Tapi begitu keadaan memungkinkan untuk mereka “terpaksa” menjawab sesuai dengan jawaban yang kuharapkan, skenarioku kembali berjalan. Pertanyaan tentang “siapa” itu kembali kutegaskan, dan hasilnya… Aku menuai kutukan, kekeke! (Itu juga sudah untung banget kalo komentarku ditampilin. Biasanya komentar-komentarku – yang pada akhirnya bertipe skak-mat – malah nggak ditampilkan, entah karena betul-betul nggak bisa jawab atau apa. Jadi kalo dalam kasus tanya-jawab berkesinambungan, seakan-akan merekalah “pemenang” perdebatan antara aku dan mereka itu ) Padahal kalau dipikir-pikir dan ditelaah lebih lanjut, pertanyaanku itu maknanya sederhana saja. Ketika mereka menjawab bahwa mereka pun cuma sebatas mengetahui dari orang yang dianggap lebih berilmu dari mereka, mereka akan kugiring pada suatu kesimpulan, “Oh, itu ternyata bukan jaminan dari Tuhan, kan? Itu cuma pendapat, kan? Kalau begitu ya mbok tolong hargai pendapat orang lain juga.” Toleransi. Terserah kalau kalian mau hidup seperti jalan hidup yang kalian ambil sekarang ini, tapi tolong jangan suka mencacat jalan hidup orang lain yang kebetulan berbeda dengan jalan hidup kalian. Kalau kalian pengen menunjukkan jalan hidup kalian itu, sekali lagi, mohon lakukan dengan elegan tanpa harus menyinggung perasaan orang lain. Karena apa? Karena pendapat itu toh cuma sekedar pendapat. Pendapat bukanlah realita yang sebenarnya. Pendapat itu hanyalah hasil pemahaman terhadap suatu realita. Dan pemahaman tiap orang terhadap realita itu bisa berbeda-beda sesuai tingkat kecerdasannya. Ning yo mbok ra sah karo ngelek-ngelekke wong liyo nek kowe keroso uripmu luwih apik ketimbang wong liyo kui. Kalau kamu tidak sanggup menyampaikan pemahamanmu kepada orang lain dengan elegan, cukup simpan apa yang kamu yakini itu untuk dirimu sendiri. Aku Islam berhubung aku berpendapat inilah jalan hidup yang paling cocok buatku. Dan aku pasti “meradang” kalau keyakinanku dihujat, karenanya aku nggak mau menghujat keyakinan orang lain. Hell yeah, aku cuma pengen kita semua ini hidup saling menghormati terhadap keyakinan tiap orang yang mungkin berbeda-beda. Supaya apa? Supaya hidup ini tenang dan damai. Tapi ya nggak taunya mengajari seseorang yang sudah terbiasa makan dengan tangan tentang tabble-manner itu ternyata sulit sekali. Sulit banget mengajak orang yang sudah terdoktrin untuk mencoba berpikir di luar lingkaran doktrinnya. Tobat… niki ter inspirasi kopi paste saking mas Joe
Baca selengkapnya ...

Jumat, 11 Januari 2013 | | 0 komentar

Hidup Adalah Perjuangan (Pengaderan ala Rasulullaah SAW)

     Hidup adalah perjuangan. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Demikianlah pernyataan para instruktur training materi ideologi. Biasanya pernyataan tersebut disampaikan ketika masa orientasi pengaderan suatu organisasi.
     Masa orientasi adalah masa pendoktrinan suatu ideologi organisasi yang disampaikan pada peserta anyar. Peserta dicekoki dengan sekian banyak doktrin organisasi agar fanatik dan loyal kepada suatu kepemimpinan. Bahkan para instruktur dalam memberikan materi training-nya mengarah ke pemikiran yang menonjolkan organisasinya.
     Tak heran bila setiap kelompok bangga terhadap organisasinya. Jadi tidaklah heran pula jika setiap orang bangga dengan organisasinya. Namun, fakta perjalanan manusia dalam berorganisasi terjadi pasang surut dalam loyalitas. Padahal loyalitas merupakan salah satu indikator kualitas kader.
     Mengapa demikian? Sebab, kader merupakan generasi pelanjut kepemimpinan organisasi. Itulah sebabnya jika suatu organisasi tidak rajin mengadakan training pengaderan, niscaya usia organisasi itu hanya seumur pendirinya.
     Rasulullaah Muhammad Shallallaahu'Alaihi Wasallaam adalah seorang nabi yang berdimensi negarawan. Sosialisasi ideologi dilakukan melalui rencana terukur. Analisis SWOT dilakukan secara seksama. Pengukuran konten SWOT didasarkan atas data riil kekuatan dan kelemahan internal dan eksternal, kemudian dipetakkan seberapa besarnya peluang dan tantangannya. Hasil analisis SWOT dijadikan dasar untuk menyusun strategi membangun kekuatan.
     Tiga belas tahun Rasulullaah intensif mencetak kader yang output-nya adalah cerdas, militan, loyal, dan visioner. Darul al-Arqam adalahwadah training centre untuk membentuk mindset peserta didik. Paradigma jahiliyah dirombak menjadi paradigma islamiyah.
     Paradigma yang diinjeksikan kepada peserta didik adalah masalah aqidah yang berdimensi imamah jamaah. Sebuah visi ideologis yang berdimensi ukhrawi. Orientasi organisasi kufar hanya sebatas dunia, sementara orientasi Rasulullaah adalah lintas dunia bahkan akhirat.
     Rasulullaah adalah trainer yang handal. Belum ada duanya di dunia ini. Nilai aqidah sebagai dasar membangun pola pikir peradaban didoktrinkan tuntas kepada peserta didik. Karena itu, fanatisme terhadap ajaran islam sebagai way of life  tidak tergoyahkan. Gelombang ancaman, himpitan, bahkan siksaan dari lawan tidak menjadikan surutnya sebuah perjuangan ideologi.
     Nah, di sinilah wujud atau bukti seiya sekata seorang instruktur pengaderan melalui pernyataan "hidup adalah perjuangan dan perjuangan memerlukan pengorbanan". Perjuangan yang gigih dan konsisten  akan menghasilkan sebuah kemenangan yang dicitakan. Rasulullaah adalah pelaku sejarah kemenangan. Tetapi, kemenangan itu tidak diraih dengan khayalan tanpa upaya serius. Pengorbanan harta benda, bahkan nyawa diberikan demi eksisnya sebuah ideologi. Beliau tauladan umat manusia dalam segala hal.
     Dari uraian ilustrasi diatas, baiknya dapat untuk menjadikannya sebagai contoh dalam diri kita khususnya mahasiswa yang rindu akan gerakan. Mahasiswa yang sedang dalam masa berkobarnya semangat juang, menyalurkan energi positifnya untuk negeri, melalui sebuah organisasi. Organisasi yang didalamnya tidak hanya mengkader yuniornya, tetapi juga menkader bagian tervital yaitu pada diri individu masing-masing agar terciptanya elemen-elemen keanggotaan organisasi yang saling menguatkan dalam bekerjasama meraih apresiasi masyarakat. Apresiasi dari gagasan-gagasan yang disusunnya dan diterapkannya sendiri pada masyarakat, yang akhirnya dirasakan pula buah manis dari kerja keras yang diabdikannya oleh masyarakat.

Repost from Suara Hidayatullaah Magazine, by Dr Abdul Mannan, SE.
With editing conclution, by me.
Agung Surya Nugraha
Baca selengkapnya ...